Dari Supersemar Hingga Wisma Yaso : Tahun - Tahun Terakhir Soekarno
Setelah mendeklarasikan kemerdekaan dan memimpin Indonesia selama lebih dari dua dekade, perjalanan politik Soekarno berakhir tragis setelah tahun 1965. Sang proklamator, yang pernah dielu-elukan sebagai simbol nasionalisme dan kebebasan, harus menghadapi realitas pahit dari kekalahan politik, pengasingan, dan penurunan kesehatan. Dari peristiwa G30S yang mengguncang bangsa, hingga penahanannya di Wisma Yaso, Soekarno menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya dalam keterasingan, jauh dari kejayaan yang pernah ia nikmati.
Soekarno, mengawali kariernya sebagai proklamator dan pemimpin yang sangat dihormati, namun masa-masa akhir hidupnya, terutama setelah 1965, penuh dengan gejolak politik, isolasi, dan penderitaan fisik. Dalam konteks ini, periode tersebut merupakan masa paling tragis dalam kehidupan Soekarno, di mana ia kehilangan pengaruh politik, kesehatan, dan dukungan publik yang selama ini mengelilinginya.
Peristiwa G30S dan Kejatuhan Soekarno (1965-1966)
Tahun 1965 menandai awal dari kehancuran Soekarno. Pada 30 September 1965, terjadi Gerakan 30 September (G30S), yang merupakan sebuah kudeta militer yang melibatkan beberapa perwira tinggi Angkatan Darat. Enam jenderal tewas dalam peristiwa tersebut, dan PKI (Partai Komunis Indonesia) dituduh terlibat dalam kudeta ini. Meskipun Soekarno menyangkal bahwa ia terlibat, posisinya sebagai kepala negara goyah, terutama karena hubungan dekatnya dengan PKI dalam upaya menjalankan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) sebagai dasar politiknya.
Sejarawan Indonesia, seperti Onghokham dan Asvi Warman Adam, mencatat bahwa Soekarno berada di tengah krisis besar ini, di mana ia dituduh gagal mengendalikan negara dan PKI. Jenderal Soeharto, yang waktu itu memimpin Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), bergerak cepat mengambil alih kekuasaan setelah G30S dengan memobilisasi pasukan militer dan mengkonsolidasikan kekuatan politik.
Pada Maret 1966, setelah periode ketegangan politik yang tinggi, Soekarno dipaksa menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Surat ini memberikan wewenang kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban di Indonesia. Pengalihan kekuasaan ini menandai awal dari berakhirnya era pemerintahan Soekarno, meskipun secara resmi ia masih menjadi presiden hingga tahun 1967. Dalam periode inilah pengaruh Soekarno secara efektif dibatasi oleh militer dan lawan-lawan politiknya.
Supersemar, Pemakzulan Hingga Penahanan Rumah (1967-1970)
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam dan peneliti lainnya, Soekarno diduga menandatangani Supersemar setelah merasa tertekan oleh situasi yang semakin tidak terkendali, terutama setelah insiden G30S/PKI dan kekuatan militer yang semakin besar di bawah kendali Soeharto. Ketiga utusan tersebut datang ke Istana Bogor dengan tujuan untuk meminta surat yang memberikan wewenang kepada Soeharto dalam menjaga keamanan dan ketertiban negara.
Dalam beberapa sumber sejarah, termasuk Membongkar Manipulasi Sejarah karya Asvi Warman Adam, ada indikasi bahwa Soekarno merasa diancam secara halus oleh para jenderal ini. Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M. Yusuf diduga mengatakan bahwa militer mungkin tidak akan mampu mengendalikan situasi jika Soekarno tidak menyerahkan otoritas kepada Soeharto. Tekanan ini menyebabkan Soekarno menandatangani surat tersebut, meskipun secara pribadi ia mungkin tidak sepenuhnya sepakat.
Selain tuduhan adanya tekanan, versi asli dari Supersemar juga masih menjadi kontroversi. Naskah asli dari surat tersebut tidak pernah ditemukan, dan beberapa sejarawan menduga bahwa surat itu mungkin sudah dimodifikasi untuk memberikan Soeharto wewenang lebih besar daripada yang dimaksudkan oleh Soekarno. Beberapa sejarawan bahkan menduga bahwa Soekarno tidak benar-benar memahami seluruh implikasi dari surat tersebut, karena pada saat itu ia berada dalam kondisi yang sangat tertekan baik fisik maupun mental.
Sejarawan Benedict Anderson dan John Roosa juga mengemukakan pandangan bahwa Supersemar adalah produk dari situasi yang sangat penuh tekanan dan ambigu. Mereka mencatat bahwa militer di bawah Soeharto menggunakan situasi ini untuk mempercepat pengambilalihan kekuasaan, dan Soekarno, meskipun secara de jure masih presiden, pada dasarnya telah kehilangan kekuatan eksekutifnya sejak penandatanganan surat tersebut.
Pada 1967, Soekarno resmi dicopot dari jabatannya oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden. Ini menandai akhir pemerintahan Soekarno secara formal. Sejak saat itu, Soekarno menjalani kehidupan yang sangat terisolasi. Ia ditempatkan di bawah tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta, tanpa akses bebas ke publik atau kesempatan untuk membela diri secara luas.
Sejarawan seperti John Roosa dalam bukunya Pretext for Mass Murder mencatat bahwa Soekarno mulai kehilangan basis dukungannya dari berbagai kelompok, termasuk militer, masyarakat sipil, dan bahkan keluarganya sendiri. Istrinya, Dewi Soekarno, melarikan diri ke luar negeri karena takut akan keselamatan keluarganya, sementara rekan-rekannya di politik secara perlahan menjauh. Hubungan antara Soekarno dan elite militer semakin memburuk, terutama setelah pembantaian anti-komunis yang terjadi pasca-G30S, yang melibatkan jutaan orang terbunuh atau dipenjara karena dituduh berhubungan dengan PKI.
Soekarno juga secara aktif dilucuti dari peran dan pengaruh politiknya oleh Soeharto. Ia dilarang melakukan pidato publik dan diminta untuk menjauh dari panggung politik. Keterasingan ini menyebabkan Soekarno jatuh ke dalam depresi berat, terutama karena ia tidak bisa lagi mengkomunikasikan ide-idenya kepada rakyat Indonesia yang dulu mendukungnya.
Kesehatan yang Memburuk dan Akhir Hidupnya
Seiring dengan hilangnya kekuatan politik, kondisi kesehatan Soekarno juga semakin memburuk. Ia menderita penyakit ginjal yang parah, namun tidak mendapatkan perawatan yang memadai. Ada laporan yang mengatakan bahwa pemerintah sengaja membatasi akses Soekarno ke perawatan medis berkualitas sebagai bentuk tekanan psikologis dan politik.
Dalam biografinya, Cindy Adams, yang menulis Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, menggambarkan bagaimana Soekarno merasa diabaikan oleh pemerintahan Soeharto. Selain penyakit ginjal, ia juga mengalami komplikasi kesehatan lainnya yang tidak dirawat dengan baik. Pada tahun-tahun terakhirnya, Soekarno menjadi semakin lemah dan kehilangan banyak berat badan.
Pada 21 Juni 1970, Soekarno meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, akibat gagal ginjal dan komplikasi lainnya. Berita kematian Soekarno diterima dengan perasaan campur aduk di kalangan rakyat Indonesia. Meskipun pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto mencoba untuk mengecilkan peran Soekarno, banyak rakyat Indonesia yang masih mengenang jasa-jasanya dalam memimpin perjuangan kemerdekaan dan membangun identitas nasional.
Pemakaman dan Warisan Soekarno
Menjelang akhir hidupnya, Soekarno menyatakan keinginan agar ia dimakamkan di Kebun Raya Bogor, tempat yang sering ia kunjungi selama menjabat sebagai Presiden Indonesia. Kebun Raya Bogor dianggap istimewa bagi Soekarno karena di sana ia sering merenung, beristirahat, dan menjadikannya sebagai tempat favorit untuk menghabiskan waktu di tengah alam. Dalam berbagai kesempatan, Soekarno mengungkapkan bahwa ia ingin dimakamkan di lokasi tersebut, dekat dengan Istana Bogor yang memiliki banyak kenangan baginya.
Namun, keinginan Soekarno tersebut tidak direalisasikan setelah kematiannya. Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto memutuskan untuk memakamkan Soekarno di Blitar, Jawa Timur, dekat makam ibunya. Langkah ini didasarkan pada pertimbangan politik dan simbolik, mengingat hubungan Soeharto dengan Soekarno yang tidak harmonis setelah Supersemar dan kejatuhan Soekarno dari kekuasaan.
Sejarawan seperti Asvi Warman Adam dan Bonnie Triyana mencatat bahwa pemakaman Soekarno di Blitar juga dimaksudkan untuk menegaskan jarak antara Orde Baru dan era Soekarno, serta untuk meminimalkan potensi politisasi makam Soekarno yang mungkin terjadi jika ia dimakamkan di lokasi yang lebih strategis seperti Kebun Raya Bogor. Pemakaman di Blitar akhirnya dijadikan sebagai tempat ziarah bagi banyak pengikut dan pendukung Soekarno, meskipun tidak sesuai dengan keinginan pribadinya.
Meskipun Soekarno dianggap sebagai musuh politik oleh pemerintahan Orde Baru, pemakamannya tetap dihadiri oleh ribuan orang yang memberikan penghormatan terakhir. Ia dimakamkan di Blitar, Jawa Timur, sesuai dengan keinginannya. Pemakamannya menjadi salah satu simbol kecintaan rakyat Indonesia terhadapnya, meskipun rezim berkuasa berusaha meminggirkan warisannya.
Warisan Soekarno terus hidup melalui berbagai pandangan politik yang ia tinggalkan, terutama gagasan tentang Pancasila sebagai ideologi nasional. Ia juga diingat sebagai pemimpin yang membawa Indonesia dari penjajahan menuju kemerdekaan. Pandangan-pandangan nasionalisme, kemandirian, dan antikolonialisme yang ia tanamkan tetap menjadi bagian penting dari diskursus politik di Indonesia hingga saat ini.
Buku-buku sejarah Indonesia, seperti karya Asvi Warman Adam, juga menyoroti bagaimana Soekarno menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi asing dan kapitalisme Barat. Meskipun masa-masa akhir hidupnya tragis, Soekarno tetap dihormati sebagai salah satu tokoh terbesar dalam sejarah Indonesia modern.
Periode 1965 hingga kematian Soekarno pada 1970 adalah masa penuh gejolak bagi Indonesia dan presiden pertamanya. Dari krisis politik G30S hingga jatuhnya kekuasaan melalui Supersemar, Soekarno kehilangan segalanya—kekuasaannya, pengaruh politik, dan akhirnya kesehatannya. Meskipun diasingkan dan dilucuti dari perannya sebagai pemimpin, pengaruhnya terhadap sejarah Indonesia tetap tak terbantahkan. Hingga kini, ia dikenang sebagai simbol perjuangan kemerdekaan, meski akhir hidupnya diwarnai dengan penderitaan dan isolasi.
Daftar Pustaka
Adams, Cindy. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Gunung Agung, 1965.
Roosa, John. Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup D'État in Indonesia. University of Wisconsin Press, 2006.
Onghokham. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Komunitas Bambu, 2002.A
dam, Asvi Warman. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa G30S-1965. Penerbit Kompas, 2009.